Friday, March 4, 2011

Lima Korban Lapindo Laporkan Oknum BPLS

The best course of action to take sometimes isn't clear until you've listed and considered your alternatives. The following paragraphs should help clue you in to what the experts think is significant.
JAKARTA, KOMPAS.com -Lima warga korban lumpur Lapindo mendatangiYayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) untuk meminta bantuan dan perlindungan hukum. Lima orang warga desa Besuki, Sidoarjo itu yakni M. Ekdar (35), Thoyib Bahri (48), Wahib (52), Muzakki (36), Mudiharto (39).

Mereka menyatakansejak tahun 2008 tanah mereka yang termasuk dalam tanah Proses Ikatan Jual-Beli (PIJB) akibat peristiwa itu belum dibayar oleh pihak Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Menurut Mudiharto, ia bersama kelima temannya memiliki tanah yang berstatus tanah darat dan sesuai dengan Keputusan dari Kepala Bapel Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Sunarso, sudah dijelaskan bahwa tanah darat memiliki nilai jual beli Rp 1 juta per meter persegi sedangkan tanah sawah bernilai jual Rp 120 ribu per meter persegi.

Namun di tahun yang berbeda dua oknum BPLS justru melakukan penyimpangan untuk mencari keuntungan atas kepada lima keluraga tersebut.Menurut Mugiharto, pada November 2008, Kepala Desa Besuki yang juga menjabat anggota tim verifikasi BPLS, M. Shirot meminta sejumlah bayaran agar tanah kelima warga itu dapat dibayar sebagai tanah darat, karena ia menganggap tanah tersebut masuk status tanah sawah.

Sementara itu, April 2009, pegawai dan anggota tim verifikasi BPLS lainnya, Bajuri, turut meminta kelima warga untuk mengajukan nominal tanah darat mereka hanya sebesar Rp 700 ribu per meter persegi. Tentunya harga ini tidak sesuai dengan keputusan sebelumnya.

Most of this information comes straight from the mobil keluarga ideal terbaik indonesia pros. Careful reading to the end virtually guarantees that you'll know what they know.

"Semua warga di desa kami sudah mendapat hasil dari proses ikatan jual beli itu, kecuali kami berlima. Padahal tanah kami ini kan tanah darat, yang seharusnya dibayarkan satu juta, bukan 700 ribu seperti yang dikatakan saudara Bajuri. Kepala desa kami juga minta fee, biar katanya tanah kami masuk tanah darat. Mereka beralasan, katanya tanah kami tanah sawah. Lha kalau tanah sawah kan harusnya 120 ribu permeter persegi, bukan 700 ribu. Ini yang kami pertanyakan. Permintaan mereka ini tidak ada dasar hukumnya," ujar Mugiharto saat jumpa pers di YLBHI, Jumat (4/3/2011).

Menurut, korban lainnya Thoyib Bahri, akibat penolakan mereka atas permintaan kedua oknum tersebut, tanah ke limanya disengketakan. Kelima warga tidak putus asa mereka mengajukan penetapan permohonan penetapan tanah mereka sebagai tanah darat di Pengadilan Negeri Sidoarjo April 2010. Hasilnya masih tetap sama, tapi menurut Thoyib dua oknum tim verifikasi itu tetap berusaha menjadikan kasus itu sebagai sengketa.

"Kami sampai sudah bawa ke pengadilan dan dinyatakan tanah kami memang tanah darat tapi tetap saja, tidak mau dibayarkan. Kami sampai sudah meninggalkan tanah kami, hanya Mugiharto yang bertahan di rumahnya di tanah itu. Tapi mereka tetap seperti itu," imbuh Thoyib.

Kelima warga ini menegaskan bahwa mereka telah memiliki bukti-bukti formal yang menunjukkan bahwa tanah mereka merupakan tanah darat. Namun itu tidak cukup kuat untuk memperoleh hak mereka."Tanah yang rawa-rawa dan rusak saja sudah mendapat hak mereka, kenapa kami tidak bisa. Kami sudah menunggu 3 tahun. Kami menduga hal yang sama juga dilakukan kepada warga lain. Tapi mungkin warga yang lain gak mau repot menunggu jadinya mengikuti maunya mereka," ungkap Mugiharto.

Saat ini YLBHI baru menerima laporan dan pengaduan lima warga tersebut, belum bisa diberitahukan kepada media langkah-langkah yang akan ditempuh nantinya.

Take time to consider the points presented above. What you learn may help you overcome your hesitation to take action.

No comments:

Post a Comment