JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Nasional (Kamnas) masih menggunakan doktrin-doktrin Orde Baru dalam memandang masalah keamanan negara. Menurut Usman, definisi ancaman dalam RUU tersebut masih menempatkan ancaman keamanan nasional sebagai ancaman militer atau ancaman pertahanan, termasuk ancaman intelijen. "Doktrin ini belum hilang dalam buku putih pertahanan kita, baik itu buku putih pertahanan tahun 2006 maupun yang terakhir tahun 2008. Belum lagi soal Dewan Keamanan Nasional (DKN) yang terdapat dalam Pasal 59. Dikatakan, dengan adanya DKN yang baru maka Pasal 15 UU pertahanan negara itu dihapuskan. Sekilas sih tidak ada masalah, hanya beda istilah. Dulu namanya Dewan Pertahanan Nasional (DPN), sekarang namanya DKN. Tapi kalau baca definisinya, dan siapa yang jadi DKN maka jelas masih DPN yang dulu," ujar Usman di Jakarta, Selasa (12/7/2011). Sejauh ini, kami telah menemukan beberapa fakta menarik tentang
. Anda mungkin memutuskan bahwa informasi berikut ini bahkan lebih menarik.
Usman menambahkan, agar tidak terjadi kesalahan mengenai definisi tersebut, pemerintah dan DPR seharusnya melakukan pembahasan secara transparan, dengan mengajak beberapa elemen masyarakat dan beberapa instansi terkait. Hal itu menurut Usman penting untuk mengontrol kebijakan-kebijakan dalam RUU. "Agar keamanan nasional tidak seperti Orba, yang menganggap komunisme sebagai ancaman, sehingga seluruh aktivitas yang berbau-bau komunisme dibubarkan, dilarang, diculik. Lalu, masyarakat miskin di kota demo dianggap bagian dari komunisme yang mengancam pembangunan. Aktivis buruh yang protes perusahaannya dianggap ancam pembangunan, dan stabilitas investasi. Termasuk juga dianggap komunis," paparnya. Oleh karena itu, lanjut Usman, jika ingin mengharapkan UU tersebut dapat berjalan dengan sesuai dengan keadilan Hak Asasi Manusia, pemerintah harus jeli dalam memperhatikan mengenai definisi-definisi keamanan yang dimaksud dalam RUU. "Kalau tidak ada perubahan dalam segi doktrin itu, menurut saya sumber daya apapun yang digunakan, secerdas apapun, sepintar apapun, UU itu pasti akan selalu merugikan kepentingan masyarakat," ujarnya.
. Anda mungkin memutuskan bahwa informasi berikut ini bahkan lebih menarik.
Usman menambahkan, agar tidak terjadi kesalahan mengenai definisi tersebut, pemerintah dan DPR seharusnya melakukan pembahasan secara transparan, dengan mengajak beberapa elemen masyarakat dan beberapa instansi terkait. Hal itu menurut Usman penting untuk mengontrol kebijakan-kebijakan dalam RUU. "Agar keamanan nasional tidak seperti Orba, yang menganggap komunisme sebagai ancaman, sehingga seluruh aktivitas yang berbau-bau komunisme dibubarkan, dilarang, diculik. Lalu, masyarakat miskin di kota demo dianggap bagian dari komunisme yang mengancam pembangunan. Aktivis buruh yang protes perusahaannya dianggap ancam pembangunan, dan stabilitas investasi. Termasuk juga dianggap komunis," paparnya. Oleh karena itu, lanjut Usman, jika ingin mengharapkan UU tersebut dapat berjalan dengan sesuai dengan keadilan Hak Asasi Manusia, pemerintah harus jeli dalam memperhatikan mengenai definisi-definisi keamanan yang dimaksud dalam RUU. "Kalau tidak ada perubahan dalam segi doktrin itu, menurut saya sumber daya apapun yang digunakan, secerdas apapun, sepintar apapun, UU itu pasti akan selalu merugikan kepentingan masyarakat," ujarnya.
. OK, mungkin bukan pakar. Tapi Anda harus memiliki sesuatu untuk membawa ke meja waktu berikutnya Anda bergabung dengan diskusi tentang
.
No comments:
Post a Comment